Selasa, 07 Juni 2011

INTRODUKSI: ANAK-ANAK MUDA YANG RADIKAL (part one)



Blog-ku kuberi nama The Radical Youths. Tujuannya sangat jelas, yaitu membawa anak-anak muda Kristen menjadi anak-anak muda yang radikal, yang hidupnya berbeda dengan jalan hidup dunia, yang hidupnya membawa dampak, perubahan di muka bumi yang makin gersang ini.

Namun, aku perlu menjernihkan dulu istilah “anak-anak muda yang radikal.” Terutama, tentang kata radikal yang aku pakai. Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme bisa diartikan paham-paham garis keras. Dan memang begitu bukan? Ketika kita mendengar kata radikal, maka apa yang tergambar dalam benak kita adalah organisasi garis keras, yang memakai kekerasaan, pemaksaan, aksi-aksi perusakan dan sebagainya, untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi, di sini saya jelas-jelas memaknai kata radikal dengan berbeda.

Sahabatku, Milhan Kahandik Santoso menulis demikian,
“Radikal memiliki makna akar, orang Kristen radikal berarti mereka yang mengacu kepada akar dan dari kekristenan yang sejati. Pendalaman akan makna radikal tidak hanya diarahkan untuk membedah akar masalah, melainkan juga keluar dari akar itu untuk mendefinisikan ulang makna sejati landasan dasarnya”
Aku setuju dengan Milhan, maka anak-anak muda yang radikal, dalam hal ini sebagai orang Kristen, adalah mereka yang mengacu kepada akar dan dari Kekristenan yang sejati.

Berikutnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Radikal sebagai:
a 1 secara menyeluruh; habis habisan: perubahan yg --; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undangundang, pemerintahan, dsb); 3 Pol maju dl berpikir atau bertindak

Menarik! Dengan demikian,
frasa anak-anak muda yang radikal bisa diartikan sebagai anak-anak muda yang habis-habisan, atau anak-anak muda yang amat keras menuntut perubahan, atau anak-anak muda yang maju dalam berpikir atau bertindak.


Ya! Di tengah dunia kita yang semakin gelap ini, dengan berbagai fakta-fakta yang memedihkan jiwa, saya begitu terbeban untuk mengajak, memanggil, bekerjsama, memperlengkapi, berkarya dengan anak-anak muda Kristen yang lainnya, anak-anak muda yang mau menjadi radikal.

Lihatlah fakta di sekeliling kita, pornografi tanpa batas, narkoba dan drugs merajalela, seks bebas menawan, dunia sedang meracuni anak-anak muda dengan kenikmatan fana tiada tara, namun membenamkan mereka dalam kegelapan. Mereka melarikan diri pada hal-hal semu yang nikmat, karena kehilangan arti kasih, kehilangan akan makna dan tujuan hidup, kehilangan orang-orang yang mengerti mereka.

Saya, terbeban bagi mereka, ya, sangat terbeban. Sebagai anak muda yang berkomitmen untuk menjejak dan mengikuti jalan pemuridan Kerajaan Allah, maka saya hendak memulai. Hendak memulai pekerjaan-Nya, untuk mengajak anak-anak muda, yang telah percaya pada Kristus, menjadi radikal. Menjadi alat-Nya untuk membuat suatu perubahan di muka bumi ini. Menjadi dampak, menjadi garam dan terang, menjadi prajurit-prajurit Kristus untuk memenangkan sebuah generasi. Blog ini ada untuk itu. Juga bagi mereka, anak-anak muda yang belum mengenal Kristus, blog ini, dan diri saya sendiri, ada untuk mereka.

Akhirnya, inilah perkenalan mula-mula saya. Berikutnya akan menyusul tulisan-tulisan lain, berkenaan dengan eksposisi firman Tuhan, dan banyak hal lainnya. The Lord be with us!

Rabu, 01 Juni 2011

Pembuat Perbedaan


Dalam kata pengantar dari penerbit, dalam buku Something To Smile About dituliskan demikian:
"pembuat perbedaan adalah orang yang membuat perbedaan dalam hidup orang lain dengan membentuk, mencetak atau mempengaruhi."


Mereka yang mengikut Kristus sudah seharusnya menjadi orang-orang yang selalu membuat perbedaan. Membentuk orang lain, mencetak orang lain, mempengaruhi orang lain. Sehingga orang-orang disekitarnya bisa mengenal Kristus, dan membawa orang lain itu untuk dapat menjalani hidup dengan sukacita yang dari-Nya.

Kawan, jadilah orang-orang yang membuat perbedaan!

John Maxwell: Kekuatan Sikap

Saya ingin mengutip langsung kalimat John Maxwell:

Jangan pernah menganggap rendah kekuatan sikap Anda. Itu adalah diri kita yang sebenarnya. Akarnya ada dalam diri kita, tapi buahny ada di luar. Dia bisa jadi sahabat terbaik kita atau musuh terjahat kita. Dia lebih jujur dan konsisten daripada kata-kata kita. Dialah yang menarik orang datang pada kita atau membuat mereka menjauh dari kita. Dia tidak akan pernah puas sampai dia diekspresikan. Dia adalah pustakawan tentang masa lalu kita; dia adalah pembicara tentang masa kini dan dia adalah nabi tentang masa depan kita.
(dalam Zig Ziglar, Something to smile about: sesuatu yang akan membuat kita tersenyum [Bandung: Visi Press, 2010], 21)

Mantap! Karena itu, sebagai murid-murid Kristus yang radikal, kita harus memiliki sikap yang tepat. Sikap yang berbeda dengan dunia, sikap yang menampilkan prinsip-prinsip kerajaan surga dalam semua lini kehidupan kita.

Selamat menentukan sikap!

Merenungkan Markus 8:34-38; Salib Sebagai Tanda

Prolog

Salib ada di mana-mana. Lihatlah! Salib ada di depan mimbar gereja, tembok pintu rumah kita, dan di sampul Alkitab kita. Tak berhenti di situ, salib kini hadir dan menjalar sebagai salah satu bentuk fashion-item masa kini. Salib bereksistensi sebagai kalung hiasan pengantin, salib hadir dalam kaos black-metal yang terkesan seram. Salib dipakai pula sebagai gantungan kunci, yang sering diperlihatkan pinky, lucu dan menggemaskan. Jelaslah, salib ada di mana-mana. Tetapi pertanyaan bagi kita semua, apa makna salib bagi mereka yang memakainya di dalam hidup ini? Asesoris (murahan) belaka? Apa yang ditandakan di dalam pemakaian salib? Penanda bahwa orang yang memakainya adalah Kristen?

Di dalam kehadiran salib yang mengejawantah dimana-mana, penulis dilanda ketakutan yang sangat. Mengapa? Karena penulis ragu bahwa salib yang adalah tanda, dimaknai sesuai makna historis-teologisnya yang sejati. Jangan-jangan, gambaran orang masa kini tentang apa arti salib mulai kabur dan luluh dalam hiruk pikuk sekularisme serta kehidupan modern yang hedonistik. Jangan-jangan, salib yang menandakan sesuatu yang ditandakan itu, telah diturunkan menjadi sekadar simbol yang berupaya untuk keren-kerenan belaka. Padahal, salib yang adalah tanda, jika ditelusuri maknanya, ia akan mengungkapkan radikalitas iman dari jalan pemuridan Kerajaan Allah. Kini, penulis memberanikan diri untuk mengajak segenap pembaca merenung ulang makna dari salib sebagai tanda itu melalui pembacaan terhadap Markus 8:34-38.


Mengapa Markus 8:34-38?

Mengapa teks Markus yang dipilih untuk merenungkan makna salib sebagai tanda? Jawabannya sederhana. Injil Markus telah diakui secara luas sebagai Injil yang pertama kali ditulis dan dipakai sebagai sumber bagi kepenulisan dua Injil Sinoptik yang lain, di mana fakta ini menunjukkan kepentingan Injil Markus dalam gereja perdana. Kemudian, konteks khusus penulisan Markus juga menjadikan Injil ini begitu menarik. Markus ditengarai ditulis pada kisaran tahun 60-70, masa di mana Kaisar Nero berkuasa dan terjadi kekerasan terhadap orang Kristen.[1] Tetapi kita tahu, bahwa memang pada dasarnya Imperium Roma adalah gambaran dari ideologi dan tata cara pemerintahan dunia yang memakai kekerasan untuk memeluk kekuasaan. Ideologi yang menghasilkan penindasan, penganiayaan dan penderitaan bagi rakyat. Dalam latar belakang yang demikian, Markus menulis Injilnya sebagai senjata perlawanan kaum lemah terhadap kekuasaan. Injil Markus mengajarkan cara-cara hidup murid Kristus yang mendobrak kekerasan ideologis Imperium Roma. Injil Markus juga memberikan daya kekuatan yang subversif bagi iman jemaat yang hidup di tengah penindasan dan kekerasan Imperium Roma. Dan ditengah itu semua, Markus mencantumkan kata salib di teks kita ini, yang ternyata, baru pertama kali muncul di dalam teks Injil Markus. Inilah yang membuat penulis tergugah untuk merenungkan makna salib, yang adalah sebuah tanda. Apa yang hendak disampaikan Markus kepada jemaat mula-mula? Dan tentu, apa yang hendak dikatakan Markus kepada kita, pembacanya berabad-abad kemudian?


Pemuridan

Dalam kalangan sarjana-sarjana, nampaknya sudah diakui dengan cukup luas bahwa salah satu tema yang dapat dibaca dari kitab Markus adalah tema pemuridan.[2] Coba pembaca meneliti, Markus dengan sangat kuat menggambarkan proses bagaimana Yesus mencoba membangun pengertian murid-muridNya tentang identitas diri-Nya yang sebenarnya. Markus memperlihatkan bahwa keduabelas murid itu selalu dikhususkan oleh Yesus untuk menerima pengajaran-Nya dibandingkan orang banyak (4:10-11, 33-34). Tetapi, detail-detail narasi dalam Injil Markus menunjukkan bahwa murid-murid Yesus masih belum juga mengerti dan mengenal siapa Dia (lih. kesalahpahaman murid-murid dan ketidakmengertian murid-murid, 4:13, 4:40-41, 6:49-52, 8: 14-21). Pengharapan bahwa murid-murid benar-benar mengerti identitas Yesus muncul ketika Petrus mengungkapkan jati diri Yesus dengan kalimat verbal yang kuat: “Engkau adalah Mesias!” (8:29). Tapi sayang, ternyata pemahaman Petrus masih berbeda dengan apa yang Yesus inginkan untuk murid-murid mengerti (8:32). Nampaknya, ada perbedaan pemahaman tentang arti Mesias dari murid-murid dengan Yesus sendiri. Ini yang menarik! Setelah menguraikan kegagalan-kegagalan murid-murid untuk mengerti identitas Yesus, Markus menempatkan perikop ini sebagai perikop awal bagi bagian tengah Injilnya. Penempatan ini seolah-olah hendak menyatakan bahwa Yesus mulai serius dalam memberikan pengertian kepada murid-muridNya!

Menyangkal diri, Pikul Salib, Ikutlah Aku[3]


Konteks teks ini menunjukkan bahwa saat itu Yesus berada di sekitar Kaisarea Filipi (8:27). Kalimat pertama pada ayat 34 menunjukkan saat itu tidak hanya murid-murid saja yang ada, tetapi juga ada orang banyak yang sedang mendengarkan pengajaran Yesus. Kepada mereka Yesus “memanggil.” Kata “memanggil” ini mengindikasikan sesuatu yang serius, yang perlu diperhatikan bagi murid-muridNya dan orang banyak, kepada segenap mereka yang hendak mengerti Dia. Maka dari itu, ketika kita membaca ayat 34, sesungguhnya Yesus sedang memanggil setiap kita, untuk dengan penuh perhatian mendengarkan apa yang hendak disampaikannya! Lalu apakah itu?

Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Ya. Kalimat Yesus ini adalah sebuah ajakan terbuka, bagi mereka yang hendak mengikut Dia diberikan sebuah tanda, sebuah syarat, yaitu “penyangkalan diri dan pemikulan salib.” Pembaca harus waspada di sini. Perhatikan bahwa perikop ini diletakkan dalam konteks di mana Yesus sedang mengajarkan kepada murid-murid bahwa jalan yang harus Ia tempuh adalah jalan penderitaan (8:31). Maka dari itu, ungkapan “setiap orang yang mau mengikut Aku” adalah ajakan irasional yang sebenarnya tidak menguntungkan. Karena ajakan itu meminta kepada segenap orang yang hendak menerimanya untuk terlibat penuh di dalam jalan penderitaan!

Jalan pemuridan yang penuh penderitaan, inilah yang diungkapkan Yesus dalam kalimat “menyangkal diri dan memikul salib.” Penyangkalan diri berarti menolak keinginan diri, meniadakan kepentingan pribadi demi menaati kehendak Ilahi. Memikul salib berarti turut bergabung bersama Yesus untuk menerima hinaan, malu, cercaan, makian, kekejian, ludah, kesakitan, dan bahkan kematian. Ajakan untuk mengikut Yesus ini di mata dunia tentu begitu irasional. Tetapi, di mata pembaca mula-mulanya, tentu ajakan ini melahirkan sikap subversif!

Ingatlah bahwa waktu itu pembaca sedang menghadapi penindasan dan ancaman penganiayaan kekaisaran Roma di bawah kekuasaan Nero. Salib adalah bentuk hukuman yang diberikan kepada orang Kristen yang dianggap melawan penguasa. Pun demikian, gambaran mengenai salib adalah gambaran yang menakutkan! Bagi pembaca mula-mula, “disalibkan” itu berarti menerima kematian dengan cara yang menyedihkan. Tentu saja, karena salib adalah bentuk hukuman yang sesungguhnya diberikan kepada budak. Ketika pembaca Markus yang mula-mula mendengar kata salib, maka mereka mendengarkan suara menyeramkan, teror yang menakutkan, mengerikan, tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan, dan di salib, itu berarti mati dengan sangat-sangat memalukan. Tangan dan kaki dipaku, dan tubuh ditelanjangi! Kepada pembaca mula-mula yang demikianlah Markus mencatat ajakan Yesus yang radikal itu. Ajakan pemuridan yang memakai salib sebagai tandanya! Tentu saja dengan tujuan agar pembaca mula-mula dengan teguh, kuat dan yakin, dapat menerima penindasan dan penderitaan sebagai sesuatu hal yang layak mereka terima sebagai pengikut Kristus. Agar pembaca mula-mula mampu menjalani jalan pikul salib mengikut Dia. Fakta ini terlihat subversif dan amat menantang tentunya.

Kepada murid-murid yang pertama-tama Yesus sudah mengeluarkan ajakan itu, kepada pembaca perdana di tengah konteks penganiayaan Markus juga menyampaikannya, dan kepada kita, pengikut Kristus di era pascamodern ini, ajakan itu tetap bergaung, mengusik nurani dan menampilkan potensi revolusionernya.

Dua Alasan

Sebelumnya, kita tentu perlu tahu dulu alasannya, mengapa mengikut Yesus perlu memikul salib dan menyangkal diri, mengambil jalan penderitaan? Alasan itu dikatakan Yesus dan dicatat oleh Markus dalam kalimat yang mengikut ayat 34. Perhatikan ada beberapa kali kata karena dan sebab yang muncul. Setidaknya, bagi penulis ada dua alasan yang diberikan Markus mengapa murid-muridNya perlu menyangkal diri dan memikul salib, menghadapi penderitaan dan kematian yang sama dengan Dia.

Pertama, karena menyangkal diri dan memikul salib, yang berarti kehilangan nyawa di muka bumi ini, adalah layak dilakukan sebagai konsekuensi pengikut Kristus. Inilah yang hendak Markus jelaskan melalui paradoks kalimat dalam ayat 35 yang sebenarnya, sangat sulit untuk dipaparkan. Dalam ayat 35 Markus hendak menjelaskan bahwa mereka yang mengaku hendak mengikut Yesus jelas akan menapak jalan penderitaan-Nya. Ini adalah konsekuensi yang layak, karena sesungguhnya hanya di dalam Dia terdapat hidup yang sebenarnya. Tetapi, bagi mereka yang menolak untuk menderita, maka mereka bukanlah pengikut Yesus yang sejati. Siapa yang menolak terhadap ajakan Yesus berarti “mau menyelamatkan nyawanya” dan konsekuensinya adalah jelas, “kehilangan nyawanya.” Mereka yang enggan menyangkal diri dan memikul salib, tidak benar-benar serius untuk menjadi murid Kristus, dan demikian tidak turut bergabung dalam damai yang sejati di dalam Dia. Kepada mereka yang mungkin menolak ajakan-Nya, dalam ayat 36-Yesus berkata, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Seolah-olah di sini sedang ditunjukkan sebuah kontras, bahwa kenyamanan dan kemanan hidup di dunia ini (yang diraih dengan menolak mengikut Kristus) tidaklah berarti! Dengan demikian, pengikut Kristus tidak perlu takut menderita, menyangkal diri dan memikul salib, karena kehilangan hidup di bumi ini adalah layak dialami. Bukankah Ia juga tak mendapatkan kenyamanan dan kehidupan semasa di muka bumi ini?

Kedua, meneruskan kontras dalam ayat 35 dengan ayat 38. Disini dapat kita lihat, menyangkal diri dan memikul salib menyebabkan kita layak untuk bersama-sama dengan Dia di dalam eschaton. Ingatlah bahwa gambaran salib pada mulanya adalah tanda dari sesuatu yang memalukan, gambaran dari penghinaan dan caci-maki. Maka dari itu, mereka yang enggan memikul salib adalah mereka yang “malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini.” Mereka yang enggan menderita adalah mereka yang akan tidak layak untuk bersama dengan Dia nanti, ketika “Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.” Karena mereka yang menolak untuk menderita dengan Dia itu berarti menolak untuk dipermalukan, dan dengan demikian tidak layak untuk bersama-sama dengan Anak Manusia yang sudah dipermalukan dan menapak jalan kehinaan.

Maka dari itu, ingatlah, bahwa jika kita sebagai pengikut Kristus menderita karena Dia di bumi ini, itu akan membuat kita pantas untuk bersama-sama dengan Dia, ketika “langit dan bumi yang baru” itu tiba!

Kesimpulan dan Perenungan

Akhirnya, dalam usaha untuk mengerti makna salib yang sejati, kita dapat mengerti arti salib yang adalah tanda itu. Salib, yang ada di mana-mana itu, adalah tanda pengikut Kristus. Dan, makna salib yang sesungguhnya lebih dari sekedar untuk bergaya belaka. Pengikut Kristus diminta untuk memikulnya. Memikul salib berarti menyangkal diri. Memikul salib berarti mengalami penderitaan. Memikul salib berarti mengalami dipermalukan oleh dunia. Memikul salib berarti menapak jalan kematian ragawi. Semuanya sama, dengan apa yang telah dijalani Yesus pada abad pertama.

Lalu, bagaimana pembaca masa kini mendengarkan ajakan Yesus, dan merelasikan pengertian akan arti salib itu di dalam kehidupan sehari-hari? Kepada mereka yang memakai salib di hari-hari dan kehidupannya, Markus menyerukan suara yang sama, suara yang lantang dan tegas, suara yang menantang kita untuk memikul salib, menyangkal diri dan mengikut Dia! Bergabung dalam jalan penderitaan-Nya!

Dengan demikian, apakah penderitaan kita? Apakah salib kita? Apakah yang membuat kita malu? Segenap orang Kristen, para murid-murid Kristus dipanggil untuk mengikut Dia. Ikut Yesus berarti mengambil jalan yang berbeda dengan dunia. Itu berarti, ketika kita berada di pekerjaan, kita melaksanakannya dengan cara, tindakan, tujuan dan motivasi sesuai dengan nilai-nilai etika kerajaan Allah, bukan nilai kerajaan dunia. Itu berarti, ketika kita berada di lingkungan akademis –kampus mau pun sekolah, PMK atau pun PSK- kita menjalaninya juga dengan jalan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemuridan Kerajaan Allah. Nilai-nilai yang bersendikan kejujuran, kasih, keadilan, kemanusiaan, egaliterian, dan perdamaian. Kita berani memperjuangkan tindakan-tindakan perlawanan terhadap sikap hidup yang menghasilkan ketidakadilan, intoleransi, korupsi dan kebobrokan moral. Kita berani menantang rezim-rezim korup yang tidak manusiawi, eksploitasi alam demi kepentingan politis dan ekonomis. Inti dari jalan penderitaan di masa kini adalah kita berani melangkah dalam jalan atau gaya hidup yang berbeda dengan dunia. Dan jika bagi dunia, nilai-nilai kerajaan Allah yang kita junjung itu adalah kebodohan, membuat kita terhina, menderita dan bahkan teraniaya secara fisik, mental dan psikologis, itu adalah layak untuk kita panggul, pikul dan alami.


Salib adalah tanda, identitas pengikut Kristus yang berbagian dalam jalan penderitaan-Nya, mengubahkan hidup dan mendobrak konteks dunia. Tepatlah di sini penulis menyitir kalimat Jűrgen Moltmann, Sang Teolog Pengharapan itu, “Christian life is a form of practice which consists in following the crucified Christ, and it changes both man himself and the circumstances in which he lives.[4]


Dengarkanlah juga kalimat-Nya yang akan menguatkan kita, Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. (Matius 5:10-12). Demikian sabda-Nya bagi kita yang akan menderita di dalam jalan salib-Nya!

Akhirnya, ijinkan penulis mencantumkan sebuah doa, yang diambil dari sebuah buklet doa yang diterbitkan oleh saudara-saudara Katolik,[5]

Yesus, buatlah agar aku menghayati sengsara-Mu ya Tuhan.

Sengsara-Mu memisahkan aku dari dunia dan mengangkat aku ke surga.

Sengsara-Mu menjelaskan hidup, mendorong aku untuk menjadi persembahan, mengajar pengampunan, dan menjadikan manis setiap penderitaan.

Buatlah agar aku menghayati sengsara-Mu ya Tuhan, agar dapat mengenal keindahan yang benar, serta kasih abadi, yang akan membuat iman kepercayaanku penuh tanpa keraguan.

Buatlah pada saat terakhir hidupku di dunia ini, semakin menghayati sengsara-Mu, supaya aku semakin dekat pada-Mu, oh Tuhan, agar aku dapat memperoleh kedamaian yang Kaujanjikan. Amin.

Kristus, Sang Tersalib, yang telah menjalani jalan penderitaan dan jalan salib, dengan lantang memanggil kita murid-muridNya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Salib sebagai tanda, adalah syarat bahwa pengikut-Nya akan masuk, mencemplungkan diri dalam jalan penderitaan-Nya.

Mari!


(tulisan ini ditulis dan telah diterbitkan dalam Jurnal Disciples, Jurnal Perkantas Jatim medio Januari-April 2011)



[1]Lih. William L. Lane, The Gospel of Mark (NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1974) 12-21; bdk. David A. DeSilva, An Introduction to The New Testament: Context, Methods & Ministry Formation (Downers Grove: Inter Varsity Press, 2004) 194-233; R. A. Guelich, “Mark, Gospel of,” dalam Dictionary of Jesus and The Gospel: A Compendium of Contemporary Biblical Scholarship (eds. Joel B. Green, Scot McKnight, I. Howard Marshall; Downers Grove: Intervarsity Press, 1992) 512-525.

[2]Lih. M. J. Wilkins, “Discipleship,” dalam Dictionary of Jesus and The Gospel 182-189; bdk. James R. Edwards, The Gospel According to Mark (PNTC; Grand Rapids: William B. Eerdmans, 2002) 16; lih. juga, Guelich, “Mark, Gospel of” 522-523.

[3]Bagian penjelasan ini mendapatkan banyak bantuan dari sumber-sumber berikut: Edwards, The Gospel According to Mark 256-261; R. T. France, The Gospel of Mark (NIGTC; Grand Rapids: Eerdmans, 2002) 339-343; C. A. Evans, Mark 8:27-16:20 (WBC; Nashville: Thomas Nelson, 2001) 24-30. Pembaca bisa menelusuri sumber di atas untuk penyelidikan lebih lanjut.

[4]The Crucified God: The Cross of Christ as The Foundation and Criticism of Christian Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993) 25.

[5]Buklet doa ini berjudul “Doa di hadapan Salib” yang penulis dapatkan di toko buku Katolik di kota tempat tinggal penulis.